MAKALAH PEMIKIRAN SUHRAWARDI TENTANG HAKIKAT WUJUD DAN (WUJUD) MANUSIA
PEMIKIRAN SUHRAWARDI TENTANG HAKIKAT WUJUD DAN (WUJUD) MANUSIA
A. Biografi Suhrawardi
Suhrawardi,
nama lengkapnya Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amira’ Suhrawardi al Maqtul─istilah
al-Maqtul untuk membedakannya dengan dua tokoh Suhrawardi yang lain—lahir di
desa Suhraward, sebuah desa kecil dekat Zinjan di Timur Laut Iran, tahun 545 H/
1153 M.3.
Pendidikannya
di mulai di Maraghah─sebuah kota yang kemudian menjadi terkenal karena
munculnya Nasir al-Din al-Tusi (1201-1274 M) yang membangun observatorium Islam
pertama—di bawah bimbingan Majdud al-Din al-Jilli, dalam bidang fiqh dan
teologi. Selanjutnya, Suhrawardi pergi ke Isfahan untuk lebih mendalami
studinya pada Zahir al- Din Qari dan Fakr al-Din al-Mardini (w. 1198 M), di
mana orang yang disebut terakhir ini diduga sebagai guru Suhrawardi yang paling
penting. Selain itu, ia juga belajar logika pada Zahir al-Farsi yang
mengajarkan al- Bashâir al-Nashîriyah, kitab karya`Umar ibn
Sahlan al-Sawi (w. 1183 M), ahli logika terkenal sekaligus salah satu pemikir
illuminasi awal dalam Islam.
Setelah itu,
Suhrawardi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui guru-guru sufi dan hidup
secara asketik. Menurut Husein Nasr, Suhrawardi memasuki putaran kehidupannya
melalui jalan sufi dan cukup lama berkhalwat untuk mempelajari dan
memikirkannya. Perjalanannya semakin lebar sehingga mencapai Anatoli dan
Syiria. Dari Damaskus, Syiria, ia pergi ke Aleppo untuk berguru pada Syafir
Iftikhar al-Din, dan di kota ini Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para
faqih yang iri mengecamnya. Akibatnya, ia dipanggil Pangeran Malik al-Zahir,
penguasa Aleppo, putra Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi, untuk dipertemukan
dengan para fuqaha dan teolog. Namun, dalam perdebatan ini Suhrawardi mampu
mengemukakan argumentasi-argumentasi yang kuat yang itu justru membuatnya dekat
dengan pangeran Zahir dan pendapat pendapatnya disambut secara baik.
Saat di
Aleppo, dalam usianya yang masih belia, Suhrawardi telah menguasai pengetahuan
filsafat dan tasawuf begitu mendalam serta mampu menguraikannya secara baik.
Bahkan Thabaqat al-Athibba’ menyebut Suhrawardi sebagai tokoh zamannya
dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu filsafat, memahami usul fiqh,
begitu cerdas dan begitu fasih ungkapannya. Semua itu membuat lawan-lawannya
atau pihak yang tidak menyukainya semakin iri dan dendam. Karena itu, setelah
tidak berhasil mempengaruhi pangeran Zahir, para fuqaha yang dengki berkirim
surat langsung pada Sultan Shalah al-Din dan memperingatkan tentang bahaya
kemungkinan tersesatnya akidah sang pangeran jika terus bersahabat dengan
Suhrawardi. Shalah al-Din sendiri yang terpengaruh isi surat segera
memerintahkan putranya untuk menghukum mati Suhrawardi. Akhirnya, pemikir yang
sangat brilian ini harus mati di tiang gantungan, tahun 1191 M, dalam usia yang
relatif muda, 38 tahun, karena kedengkian sebagian ulama fiqh.
Meski
perjalanan hidupnya tidak begitu lama, Suhrawardi meninggalkan banyak karya
tulis. Menurut Husein Nasr, Suhrawardi meninggalkan sekitar 50 judul buku yang
ditulisnya dalam bahasa Arab dan Persia, meliputi berbagai bidang dan ditulis
dengan metode yang berbeda. Kelima puluh judul buku tersebut─secara umum─dapat
dibagi dalam 5 bagian.
1. Buku empat besar tentang pengajaran dan doktrin
yang ditulis dalam bahasa Arab. Kumpulan ini membentuk kelompok yang membahas
filsafat paripatetik, yang terdiri atas al-Talwîhât, al-Muqâwimât, dan al-Muthârahât
yang ketiganya berisi pembenaran filsafat Aristoteles. Terakhir Hikmah
al-Isyraq (The Theosophy of the Orient of Light) yang berbicara sekitar
konsep illuminasi.
2. Risalah-risalah pendek yang masing-masing ditulis
dalam bahasa Arab dan Persia. Materi tulisan ini sebenarnya juga telah ada
dalam kumpulan buku yang empat tetapi ditulis dalam bahasa yang lebih
sederhana.
3. Kisah-kisah sufisme yang melukiskan perjalanan
ruhani dalam semesta yang mencari keunikan dan illuminasi. Hampir semua kisah
ini ditulis dalam bahasa Persia.
4. Nukilan-nukilan, terjemahan dan penjelasan terhadap
buku filsafat lama, seperti terjemahan Risâlah al-Thair karya Ibn Sina
(980-1037 M) dalam bahasa Persia, penjelasan al-Isyârat serta Risâlah
fi Haqîqah al-Isyqi (On the Reality of Love) yang terpusat pada risâlah
fi al-Isyqi karya Ibn Sina, dan tafsir sejumlah ayat serta hadis Nabi.
5. Wirid-wirid
dan doa-doa dalam bahasa Arab.
B.
Isyraqi
Kata isyraq mempunyai banyak arti, antara
lain terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari dan menerangi.
Isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan
sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan, dan hal lain yang
membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan,
kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita. Illumination,
dalam bahasa Inggris yang dijadikan padanan kata isyraq yang berarti cahaya atau penerangan.
Dalam bahasa
filsafat, illuminationism berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari
kehidupan emosional kepada pencapaian tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi,
apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan
ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang di dalamnya pengetahuan dan
kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali
yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dapat dicapai bersama-sama. Karena
itu, menurut madzhab isyrâqi, sumber pengetahuan adalah penyinaran
cahaya yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan substansi
cahaya. Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi.
Simbol cahaya digunakan untuk menetapkan satu faktor yang menentukan wujud,
bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa,
zat individual dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya,
penggunaan simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi.
Sumber-sumber
pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi, menurut SH.
Nasr:
1. Pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya
karya-karya al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali (1058-1111 M). Salah satu
karya al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, yang menjelaskan adanya hubungan
antara nûr (cahaya) dengan iman mempunyai pengaruh langsung pada
pemikiran illuminasi Suhrawardi.
2. Pemikiran filsafat paripatetik Islam
khususnya filsafat Ibn Sina. Meski Suhrawardi mengkritik sebagian pemikiran Ibn
Sina tetapi ia memandangnya sebagai azas penting dalam memahami
keyakinan-keyakinan isyraqi.
3. Pemikiran filsafat sebelum Islam yakni aliran
Pythagoras (580-500 SM), Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di
Alexanderia, kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur Dekat oleh kaum
Syabiah Harran, yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi
mereka.
4. Pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-Kuno.
Di sini Suhrawardi mencoba membangkitkan kembali keyakinan-keyakinan baru dan
memandang para pemikir Iran-kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun
sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum nabi Idris (Hermes).
5. Bersandar pada ajaran Zoroaster dalam
menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat
yang kemudian ditambah dengan istilah-istilahnya sendiri. Meski demikian,
secara tegas Suhrawardi menyatakan bahwa dirinya bukan penganut dualisme dan
tidak menuduh mazhab Zahiriyah sebagai pengikut Zoroaster. Sebaliknya, ia
mengklaim dirinya sebagai anggota jamaah hukama Iran, pemilik
keyakinan-keyakinan ‘kebatinan’ yang berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan
pemilik sunnah yang tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster.
Dengan demikian, pemikiran isyraqi Suhrawardi
bersandar pada sumber-sumber yang beragam dan berbeda, tidak hanya Islam tetapi
juga non-Islam, meski secara garis besar bisa dikelompokkan dalam dua bagian:
pemikiran filsafat dan sufisme. Namun, yang harus menjadi perhatian, hal itu
bukan berarti Suhrawardi melakukan pembersihan terhadap pemikiran-pemikiran
sebelumnya. Ia justru mengkliam dirinya sebagai pemersatu antara apa yang
disebut hikmah ladûniyah (genius) dan hikmah al-atiqah (antik).
Menurutnya, hikmah yang total dan universal adalah hikmah (pemikiran) yang
jelas tampak dalam berbagai ragam orang Hindu kuno, Persia kuno, Babilonia,
Mesir dan Yunani sampai masa Aristoteles.
Lebih jauh,
Suhrawardi bahkan mengklaim dirinya sebagai pusat pertemuan dua cabang hikmah
dunia. Menurutnya, juga menurut kebanyakan penulis abad pertengahan, hikmah
diturunkan Tuhan kepada manusia melalui nabi Idris (Hermes) sehingga ia
dipandang sebagai pendiri filsafat dan ilmu-ilmu (wâlid al-hukamâ’).
Dari Hermes ini hikmah (filsafat) kemudian terbagi menjadi dua cabang:
di Persia dan di Mesir, di mana yang dari Mesir ini kemudian melebar ke Yunani.
Selanjutnya, melalui dua cabang ini, khususnya Persia dan Yunani bertemu
kembali membentuk peradaban Islam. Namun, berbeda dengan kebanyakan penulis,
Suhrawardi tidak menganggap tokoh-tokoh filsafat paripatetik Islam seperti
al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina serta para filosof lainya sebagai seorang
filosof melainkan hanya sebagai perintis sufisme. Ia justru menengok Abu Yazid.
Bustami (w. 877 M) dan Abu Muhammad Sahal ibn Abdillah Tustari (815-896 M), dan
menilainya sebagai seorang filosof dan ahli hikmah yang sesungguhnya.
C.
Pandangan Ontologis
Paling tidak
ada dua ajaran pokok dalam filsafat isyrâqi, yaitu gradasi esensi dan kesadaran diri: yang
pertama berkaitan dengan persoalan ontologis,
yang kedua berkaitan dengan epistemologis. Dari dua ajaran ini lahir ajaran atau teori ketiga, alam
mitsâl, di mana struktur ontologis dari
realitas spiritual atau ‘alam atas’ dianggap mempunyai kemiripan atau mengambil bentuk-bentuk gambar konkrit
dari alam materi atau ‘alam bawah’.
Ajaran yang ketiga ini pada fase berikutnya dikembangkan oleh Ibn Arabi (1165-1240 M) menjadi ide
tentang alam semesta sebagai macroanthropos
(al-insân al-akbar) atau macro-personal (al-syakhsh
alakbar). Ide ini mengasumsikan atau mempolakan semesta sebagai manusia.
Kamampuan-kemampuan kognitif manusia diproyeksikan ke dalam struktur ontologis realitas yang tampak sebagai
seseorang sehingga seperti manusia semesta ini mempunyai persepsi inderawi,
imajinasi, pemikiran rasional, dan intuisi spiritual.
Berkaitan
dengan ajaran pertama, gradasi esensi, menurut Suhrawardi, apa yang disebut
sebagai eksistensi adalah sesuatu yang hanya ada dalam pikiran, gagasan umum
dan konsep yang tidak terdapat dalam realitas, sedang yang benar-benar esensial
atau realitas yang sesungguhnya adalah essensi-essensi yang tidak lain
merupakan bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya ini adalah sesuatu yang nyata
dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan dan tidak
dikenali. Karena itu, cahaya tidak membutuhkan definisi bahkan tidak ada yang
lebih tidak membutuhkan definisi kecuali cahaya. Sebagai realitas segala
sesuatu, ia menembus setiap susunan entitas, fisik maupun non-fisik, sebagai
komponen essensial dari cahaya. Menurut Suhrawardi, proses itu pada dasarnya
tidak berbeda dengan teori emanasi pada umumnya: (1) gerak menurun dari yang
‘lebih tinggi’ kepada yang ‘lebih rendah’, yakni emanasi diri Cahaya Segala
Cahaya, (2) peniadaan penciptaan, yakni bahwa semesta ini tidak diciptakan dari
tiada, tidak ada ‘pembuat’ dan tidak ada ‘kehendak’ Tuhan, (3) keabadian
semesta, (4) hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang
lebih rendah.
Akan tetapi,
gagasan emanasi Suhrawardi di sini tidak hanya mengikuti teori yang
dikembangkan kaum Neoplatonis, tetapi mengkombinasikan dua proses sekaligus,
dan inilah yang membuatnya menjadi khas pemikiran Suhrawardi. Pertama,
adanya emenasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nûr al-Anwâr.
Cahaya-cahaya ini benar-benar ada dan diperoleh (yahshûl) tetapi tidak
berbeda dengan Nûr al-Anwâr kecuali pada tingkat intensitasnya yang
menjadi ukuran kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu bercirikan: (1) ada sebagai
cahaya abstrak, (2) mempunyai gerak ganda, yaitu ‘mencintai’ (yuhibbuh)
serta ‘melihat’ (yusyâhiduh) yang di atasnya, dan mengendalikan (yaqharu)
serta menyinari (asyraqah) apa yang ada di bawahnya, (3) mempunyai atau
mengambil ‘sandaran’ yang mana sandaran ini mengkonsekuensikan sesuatu, seperti
‘zat’ yang disebut barzah, dan mempunyai ‘kondisi’ (hay’ah); zat
dan kondisi ini sama-sama berperan sebagai ‘wadah’ bagi cahaya, (4) mempunyai
sesuatu semisal ‘kualitas’ atau sifat, yakni kaya (ghâni) dalam
hubungannya dengan cahaya di bawahnya dan miskin (fâkir) dalam kaitannya
dengan cahaya di atas. Ketika cahaya pertama melihat Nûr al-Anwâr dengan
dilandasi cinta dan kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak yang lain.
Sebaliknya, ketika cahaya pertama melihat kemiskinannya, ia memperoleh ‘zat’
dan ‘kondisi’nya sendiri. Proses ini terus berlanjut, sehingga menjadi bola dan
dunia dasar (elemental world).
Kedua, proses
illuminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai
visi langsung pada Nûr al-Anwâr tanpa durasi, dan pada momentum
tersendiri Nûr al-Anwâr menyinarinya sehingga menyalakan cahaya kedua
dan zat serta kondisi yang dihubungan dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini,
pada proses berikutnya, menerima tiga cahaya sekaligus, yaitu dari Nûr
al-Anwâr secara langsung, dari cahaya pertama dan dari Nûr al-Anwâr yang
tembus lewat cahaya pertama. Proses ini terus berlanjut dengan jumlah cahaya
meningkat sesuai dengan urutan 2n-1 dari cahaya pertama.
D. Kesadaran Diri
Ajaran
Suhrawardi tentang kesadaran diri berkaitan dengan konsepnya tentang
pengetahuan. Menurut para pemikir sebelumnya, khususnya kaum paripatetik,
pengetahuan diperoleh lewat berbagai cara: (1) lewat definisi, (2) lewat
perantara predikat, seperti X adalah Y, dan (3) lewat konsepsi-konsepsi (tashawûr).
Ini terjadi karena objek yang diketahui bersifat independen dan keberadaannya
berada di luar eksistensi subjek. Di antara keduanya tidak ada kaitan logis,
ontologis atau bahkan epistemologis. Karena itu, pengetahuan ini menuntut
konfirmasi (tashdîq) untuk menentukan kriteria salah dan benar.
Dikatakan benar jika ada kesesuaian antara konsepsi dalam pikiran subjek dengan
kondisi objektif eksternal objek; dianggap salah jika tidak ada kesesuaian di
antara subjek dan objek. Suhrawardi mengkritik proses mengetahui seperti itu.
Menurutnya, proses tersebut mengandung beberapa kelemahan: (1) menunjuk pada sesuatu
yang tidak hadir (al-syai’ al-ghâib), (2) objeknya menjadi terbatas
karena tidak semua objek bisa dikonsepsikan atau didefinisikan, (3)
validitasnya tidak terjamin karena apa yang ada dalam konsep mental.
E. Hakikat Wujud dan (Wujud) Manusia
Bisa dikatakan bahwa persoalan wujud adalah persoalan
yang sangat penting dan fundamental dalam filsafat islam. Perdebatan antara
kaum peripateik, iluminisme, dan transendentalisme mengenai topik ini merupakan
perjalanan panjang yang terus-menerus mewarnai ranah pemikiran filsafat Islam
yang teramat luas dan dalam.
Tuhan ada; manusia ada; spidol ada. Dari
pernyataan-perntaan ini kemudian muncul bermacam persoalan tentang wujud yang
kemudian menjadi dasar pemikiran filsafat Shadrian. Karena menurut pandangan
pencetus aliran ini, Mulla Shadra, isu tentang wujud ini merupakan landasan
bagi isu-isu filosofis yang lain. Apa itu ada (wujud)? Samakah ada pada Tuhan,
manusia, dan spidol? Manakah yang lebih sejati antara eksistensi (wujud) dan
esensi (mahiyah)?
Melalui pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan di atas
kemudian memunculkan prinsip-prinsip yang mendasar dalam filsafat hikmah:
ketunggalan wujud (wahdah al-wujud), kemendasaran wujud (ashalah
al-wujud), dan ambiguitas wujud (tasykik al-wujud).
Wujud mencakup segala sesuatu. Ia
mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai konsekuensi logis dari pernyataan ini
adalah bahwa wujud itu niscaya/ada/mutlak. Secara definisi, sebagaimana
diutarakan oleh Taqi Misbah Yazdi dalam Daras filsafat Islam, subjek filsafat
pertama atau metafisika adalah “maujud mutlaq” atau maujud hua maujud
(al-maujud bi ma huwa maujud). Konsep wujud ini merupakan konsep paling jelas
yang diabtraksikan benak dari segala sesuatu. Begitu jelasnya konsep wujud ini
sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas daripadanya. Oleh karena itu
pendefenisian terhadap wujud sebenarnya adalah hal yang demikian sulit jika
tidak mau dikatakan tidak mungkin. Hal ini mengingat bahwa untuk mendefenisikan
suatu objek diperlukan suatu hal yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara
itu konsep tentang wujud adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir
dalam benak.
Argument-argumen ashalah al-wujud secara lebih terperinci adalah sebagai
berikut:
Pertama, esensi atau kuiditas pada dasarnya netral, tidak menolak untuk diberi
predika “ada” atau “tiada”. Seandainya kuiditas adalah eksistensi (realitas)
itu sendiri, maka tidak dapat dinegasikan, karena menegasi inti atau dzat
adalah mustahil dank arena ada realitas yang ekstrim, tidak netral terhadap ada
dan tidada.
Kedua, wujud
adalah benang merah antar segala sesuatu, sedangkan kuiditas atau esensi adalah
ciri pembeda antar segala sesuatu.
Ketiga, sesuatu
disebut memiliki realitas objektif apabila ia mempunyai eksistensi. Kuiditas
atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang wujud. Itu berarti bahwa
yang riil dan objektif hanyalah eksistensi.
Keempat, karena wujud adalah sumber dan prinsip kesempurnaan, maka tak pelak
wujud-lah yang orisinil. Sesuatu yangh “buatan” (I’tibariyat) tak mungkin
menjadi prinsip dan sumber pengaruh riil, kebaikan dan kesempurnaan.
Kelima, perbedaan
antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif adalah bahwa maujud
objektif member pengaruh yang diniscayakan, sedangkan maujud subjektif tidak
memberikan pengaruh-pengaruh objektif yang diniscayakan. Seandainya esensi
(kuiditas) adalah sejati (orisinal atau nyata), maka berarti ia harus
memberikan pengaruh-pengaruh objektif serta pengaruh-pengaruh subjektif. Namun
kenyataan empirik menyatakan sebaliknya.
Keenam, berkat
wujud, segala sesuatu yang semula netral, antara ada dan tiada, menjadi ada.
Sedangkan esensi sendiri pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang netral,
tiada ada dan tidak tiada. Sesuatu yang semula tidak ada tidak akan pernah
menjadi ada tanpa sebab pengada, dan karenanya tidak akan menjadi prinsip
pengaruh objektif. Jadi jelas bahwa wujud lebih mendasar dan nyata.
Ketujuh, setiap entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju
kesempurnaan. Ia akan meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan.
Sumbernya apa ya min?
BalasHapus