SUMBER HUKUM ISLAM



SUMBER HUKUM ISLAM

A.    Pengertian Sumber Hukum Islam (Dalil)
            Dalil menurut bahasa artinya yaitu petunjuk terhadap sesuatu baik hissi (konkrit) maupun maknawi (abstrak), baik petunjuk itu kepada kebaikan ataupun kepada kejelekan. Menurut ketetapan para ahli Usul Fiqh, dalil adalah sesuatu yang menurut pemikiran yang sejahtera menunjukkan pada Hukum Syara’ yang amali, baik dengan jalan pasti (yakin) ataupun dengan jalan dugaan kuat. Sebagian mengartikan dalil dengan pengertian yang sempit, yaitu “sesuatu yang daripadanya diperoleh Hukum Syara’ yang amali atas dasar keyakinan belaka”. Dan yang didasarkan pada dugaan kuat dinamakan “Amarah”.
B.     Pembagian (Klasifikasi) Dalil
1.      Ditinjau dari segi asalnya:
a.       Dalil Naqly (Nas), berasal dari Nas langsung, nas Al-Qur’an dan al-Hadits/Sunnah.
b.      Dalil Aqly (Ra’yu), pikiran manusia yang sejahtera, terlepas dari pengaruh hawa nafsu. Disebut juga dengan Ijtihad, baik ijtihad perseorangan maupun kolektif (Ijma’).
2.      Ditinjau dari segi daya cakupnya:
a.       Dalil Kully, dalil yang isinya mencakup banyak satuan hukum, bahkan mencakup sebagian besar hukum yang sejenis.
b.      Dalil Juz’I (Tafsily), dalil yang hanya menunjuk pada satuan hukum saja.
3.      Ditinjau dari segi kekuatannya:
a.       Dalil Qat’i, dalil yang mendatangkan keyakinan (kepastian):
1)      Qat’i Wurudnya atau Subutnya (cara datangnya atau penetapannya), dalil yang diyakini (dipastikan) datangnya dari pembuat syara’, dengan jalan mutawatir. (Al-Qur’an, Hadits Mutawatir dan Hadits Masyhur).
2)      Qat’i Dalalahnya (petunjuknya kepada hukum), dalil yang lafaz dan susunan katanya tegas dan jelas menunjukkan arti dan maksud tertentu.
b.      Dalil Zanni, dalil yang mendatangkan dugaan kuat:
1)      Zanni Wurudnya atau Subutnya, dalil yang diduga keras datangnya dari pembuat syara’, yang diriwayatkan dengan cara/jalan ahad. (Hadis Ahad).
2)      Zanni Dalalahnya, dalil yang lafaz atau susunan katanya tidak jelas dan tidak pula tegas menunjukkan pada arti dan maksud tertentu.

C.    Perincian Dalil-Dalil Syara’
            Perincian macam-macam dalil yang banyak dipergunakan oleh para ulama dari berbagai mazhab:
1.      Perincian Dalil Syara’ menurut Imam Hanafi:
a.       Kitbullah/al-Qur’an
b.      As-Sunnah
c.       Al-Ijma’
d.      Al-Qiyas
e.       Istihsan
f.       ‘Urf
2.      Menurut Imam Syafi’i:
a.       Al-Qur’an
b.      As-Sunnah
c.       Ijma’
d.      Qiyas atau Istidlal
3.      Menurut Imam Malik
a.       Kitabullah/al-Qur’an
b.      Sunnah rasul yang sah
c.       Amal Penduduk Madinah (Ijma’ Ahli Madinah)
d.      Qiyas
e.       Mashlahah Mursalah/Istislah
4.      Menurut Imam Ahmad
a.       Nas: Al-Qur’an, Hadis Marfu’
b.      Fatwa Sahabat atau Ijma’ Sahabat
c.       Hadis Mursal dan Hadis Da’if (maksudnya Hadis Hasan)
d.      Qiyas (di kala darurat)
            Menurut Abdul Wahhab Khallaf, diantara kesemuanya itu yang disepakati oleh jumhur ulama, adalah: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, Al-Qiyas.
            Dalil Syar’I menurut Mahmud Syaltut ada tiga, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ar-Ra’yu. Ar-Ra’yu menurut beliau sama dengan Ijtihad.
            Pada hakekatnya Dalil Syar’i hanyalah satu, yaitu Al-Qur’an, sebab dalil yang lainnya hanyalah penjelasan dari Al-Qur’an saja. semua dali itu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an.
D.    Al-Qur’an/Kitabullah
1.      Pengertian al-Qur’an
            Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw, ditulis dalam mushaf yang menggunakan bahasa Arab, yang disampaikan (dinukilkan kepada kita) dengan jalan mutawatir, yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
            “Wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Muhammad saw. yang berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir”.
Batasan al-Qur’an tersebut meliputi:
a.       Al-Qur’an itu wahyu berupa lafaz; wahyu yang berupa makna yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan diutarakan dengan bahasa beliau sendiri, bukanlah termasuk Al-Qur’an.
b.      Al-Qur’an itu berbahasa Arab; terjemahan ke bahasa lain bukanlah Al-Qur’an, tafsir juga bukan al-Qur’an.
c.       Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw; wahyu yang diturunkan kepada para Nabi selain Muhammad saw bukanlah al-Qur’an
d.      Al-Qur’an dari masa Sahabat hingga kepada kita diriwayatkan dengan jalan mutawatir.
2.      Kedudukan al-Qur’an sebagai dalil dan kehujjahannya
a.       Kedudukannya: seluruh ulama telah menetapkan bahwa al-Qur’an adalah Sumber Pertama dari segala Dalil.
b.      Kehujjahannya: al-Qur’an merupakan hujjah yang paling kuat.
Bukti-bukti I’jaz al-Qur’an:
1)      Adanya penawaran untuk mengadakan kompetisi
2)      Adanya ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung tantangan bagi orang-orang yang menentang kerasulan Muhammad saw. dan wahyu yang dibawanya.
3)      Tidak adanya kesanggupan kaum musyrikin (yang mempunyai kemahiran dalam bahasa Arab dengan segala cabangnya) untuk membuat susunan seperti al-Qur’an.
                   Adapun unsur-unsur I’jaz dalam al-Qur’an:
1)      Ketinggian kesusastraan dan mendalamnya isi al-Qur’an
2)      Menghabarkan tentang umat dahulu kala
3)      Memberi kabar berita tentang hal-hal yang gaib
4)      Keilmiahan al-Qur’an
3.      Macam-macam hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an
a.       Hukum-hukum yang bertalian dengan I’tiqad
b.      Hukum-hukum yang bertalian dengan Akhlak
c.       Hukum-hukum yang bertalian dengan ‘Amaliyah, meliputi:
1)      Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (Ibadah)
a)      Ibadah badaniyah
b)      Ibadah maliyah
c)      Ibadah badaniyah dan maliyah
2)      Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (mu’amalat), meliputi:
a)      al-Ahwal asy-Syakhsiyah
b)      al-Mu’amalah al-Madaniyah
c)      al-Jinayah wa al-‘Uqubah
d)     al-Ahkam al-Murafa’at atau Mukhasamat
e)      al-Ahkam as-Sultaniyah atau Dusturiyah
f)       al-Ahkam ad-Dualiyah
g)      al-Ahkam al-Iqtisadiyah wa al-Maliyah



E.     As-Sunnah atau al-Hadis
1.      Pengertian as-Sunnah
Menurut bahasa, Sunnah berarti jalan yang ditempuh, perbuatan yang senantiasa dilakukan, adat kebiasaan, dan sebagai lawan dari “bid’ah”.
Menurut istilah, Sunnah berarti:
a.       Menurut Ahli Fiqh (Fuqaha’), Sunnah berarti sesuatu yang dituntut oleh pembuat Syara’ untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak pasti. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
b.      Menurut Ahli Hadis (Muhaddisin), Sunnah adalah perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan atau keadaan Nabi Muhammad saw.
c.       Menurut Ahli Usul Fiqh, Sunnah ialah perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan atau ketetapan-ketetapan Nabi saw. yang berhubungan dengan pembentukan hukum.
Menurut As-Syatiby, Sunnah meliputi: Sabda Nabi saw., Amal Nabi saw., Takrir Nabi saw., dan juga Amal para Sahabat.
2.      Pembagian as-Sunnah atau al-Hadis
a.       Ditinjau dari segi sifat pembentukannya:
1)      Sunnah Qauliyah, berupa perkataan
2)      Sunnah Fi’liyah, berupa perbuatan
3)      Sunnah Taqririyah, berupa ketetapan
4)      Sunnah Hammiyah, berupa keinginan atau kehendak Nabi saw. yang kuat yang belum dilaksanakan
5)      Sunnah Tarkiyah, berupa hal yang ditinggalkan oleh Nabi saw.
b.      Ditinjau dari segi jumlah bilangan perawinya:
1)      Mutawatir, sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh sejumlah besar perawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk berdosa.
2)      Masyhur. Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh seorang sahabat, dua orang sahabat yang tidak sampai kepada tingkat mutawatir, kemudian diterima oleh kelompok perawi lainnya yang jumlahnya mencapai tingkat mutawatir.
3)      Ahad, sunnah yang tidak mencapai derajat mutawatir dan masyhur.
c.       Ditinjau dari segi sandarannya kepada Nabi saw:
1)      Marfu’, sunnah yang disandarkan kepada Nabi saw.
2)      Mauquf, sunnah yang disandarkan kepada Sahabat
3)      Maqtu’, sunnah yang disandarkan kepada Tab’i
d.      Ditinjau dari segi nilainya:
1)      Sahih, sunnah yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung, tidak berillat dan tidak janggal.
2)      Hasan, sunnah yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan sunnah itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan, tetapi tidak sampai mencapai derajat sahih.
3)      Da’if, sunnah yang kehilangan satu atau lebih dari syarat-syarat hadis/sunnah yang sahih atau hasan.
3.      Kedudukan dan kehujjahan as-Sunnah
a.       Kedudukan: menduduki urutan kedua setelah al-Qur’an. Dalil yang menunjukkan demikian, yaitu:
1)      Ayat-ayat al-Qur’an, sunnah Nabi saw., dan asar para sahabat menunjukkan demikian.
2)      Al- Qur’an dinukilkan dengan jalan mutawatir, sehingga jika dilihat dari segi wurudnya/tersebutnya ia termasuk dalil qat’i. Sedangkan as-Sunnah kebanyakannya bersifat zan.
3)      Sunnah adakalanya menerangkan ayat al-Qur’an yang masih mujmal dan adakalanya menambah hukum yang tidak diatur secara jelas dalam al-Qur’an.
b.      Kehujjahan: as-Sunnah menjadi hujjah, menjadi sumber hukum dan menjadi tempat mengistinbatkan hukum syara’. Dalil yang menunjukkan kehujjahan as-Sunnah:
1)      Ayat al-Qur’an (misal surat an-Nisa’ (4), ayat 59 dan ayat 80)
2)      Ijma’ Sahabat
3)      Akal
4.      Fungsi as-Sunnah dalam menetapkan hukum
a.       Menguatkan apa-apa (hukum) yang telah disyari’atkan dalam al-Qur’an
b.      Menerangkan apa yang telah disyari’atkan dalam al-Qur’an
c.       Mensyari’atkan hukum yang didiamkan oleh al-Qur’an
5.      Perbedaan pendapat dalam menilai as-Sunnah
      Sebagian kecil ulama menolak as-Sunnah sebagai dasar sumber hukum, dengan alasan tertentu. Jumhur ulama menerimanya, tetapi ada yang hanya menerima hadis mutawatir saja da nada pula yang menerima sunnah ahad dengan mengemukakan beberapa syarat.  
F.     Al – Ijtihad
Menurut bahasa ijtihad adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan suatu urusan atau suatu perbuatan. Sedangkan menurut istilah ialah pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili. Imam Syafi’i mengartikan ijtihad secara sempit, yaitu hanya terbatas pada al-qiyas saja. Adapun dalil – dalil sebagai dasar tasyri’ atau sumber hukum adalah al-Qur’an (surat an-Nisa ayat 59), as-Sunnah yakni hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh al-Bagawi dan Muaz ibn Jabbal, dan akal.
1.      Syarat – syarat melakukan Ijtihad
Para ulama tidak sependapat dalam menetapkan syarat-syarat melakukan ijtihad. Namun dapat ditetapkan bahwa syarat-syarat melakukan ijtihad antara lain mengetahui dengan baik bahasa Arab dalam segala seginya, mengetahui dengan baik isi al-Qur’an terutama ayat yang berhubungan dengan masalah amali, mengetahui dengan baik sunnah Rasul yang berhubungan dengan hukum, mengetahui masalah hukum yang telah menjadi ijma’ para ulama sebelumnya, mengetahui usul fiqh, mengatahui kaidah fiqhiyah, mengetahui masud syara’, mengetahui rahasia syara’, orang yang melakukan ijtihad mempunyai sifat adil, jujur, dan berbudi pekerti baik, dan orang yang melakukan ijtihad mempunyai niat yang suci dan benar. Syarat-syarat tersebut, diperlukan bagi mujtahid mutlaq yang bermaksud mengadakan ijtihad dalam segala masalah fiqh di masa lampau.



2.      Tingkatan – tingkatan Mujtahid
Tingkatan mujtahid itu sangat tergantung pada sifat dan aktivitas yang dilakukan oleh mujtahid itu sendiri. Para ulama berbeda dalam mengklasifikasikan tingkatan mujtahid diantaranya :
a.       Mujtahid fi asy-syar’i, yaitu mujtahid yang memiliki syarat secara sempurna dan melakukan ijtihad dalam berbagai masalah hukum syara’, tanpa terikat mazhab.
b.      Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat secara sempurna dan melakukan ijtihad dengan mengikuti jalan yang telah dibentangkan oleh Imam Mazhabnya, tapi ia selalu sependapat dengan imamnya dalam masalah furu’.
c.       Mujtahid fi al-mazhab, yaitu mujtahid yang mengikuti usul imam mazhabnya dan ia juga mengikuti imamnya dalam masalah furu’, tapi ia mampu melakukan ijtihad dalam masalah yang belum atau tidak ditetapkan oleh imamnya.
d.      Mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang selalu terikat oleh usul imamnya dan juga mengikuti pendapat imamnya dalam masalah furu’, hanya jika ada masalah yang diperselisihkan dikalangan mazhabnya, ia mampu melakukan tarjih.
Abdul Wahab Khallaf mengemukakan bahwa jalan atau cara ijtihad ialah al-qiyas, al-istihsan, al-istislah, dan lainnya yang direstui oleh syara’ untuk mengistinbatkan hukum bagi masalah yang tidak ada nasnya. Ijma’ ditinjau dari segi aktivitas yang dilakukan termasuk pada ijtihad juga atau termasuk dalam jalan atau cara ber-ijtihad. Beberapa jalan atau cara ber-ijtihad diantaranya ijma, qiyas, istihsan, istislah atau maslahah mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan saddu az-zari’ah.

G.    Al – Ijma’
Menurut bahasa ialah sepakat atas sesuatu sedangkan menurut istilah ahli usul fiqh adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu setelah wafat Rasulullah saw. atas suatu hukum syara’ pada peristiwa yang terjadi. Adapun rukun ijma’ terdiri dari empat diantaranya adanya beberapa pendapat yang menjadi satu pada satu masa tertentu, adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa hukum pada waktu terjadinya, tanpa memandang tempat, kebangsaan dan kelompok mereka, kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid itu benar-benar terealisir.
1.      Kemungkinan terjadinya Ijma’
Sebagian ulama Mu’tazilah, yakni an-Nazzam dan sebagian ulama syi’ah, memustahilkan adanya ijma’, karena persepakatan mujtahid atas satu hukum yang tak dapat diketahui dengan pasti adalah mustahil. Daud bin Aly berpendapat, bahwa ijma’ yang tidak mungkin terhjadinya ialah ijma’ sesudah sahabat. Karena para ulama sesudah periode sabahat tersebar di beberapa kota. Hanya di masa sahabatlah diketahui terjadinya ijma’, karena ahli ijma’ berjumlah kecil dan belum bercerai-cerai.
2.      Macam - macam Ijma'
Ditinjau dari cara menghasilkannya, ada dua macam ijma',  yaitu Al - ijma' as - sarih,  yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing - masing secara jelas, baik dengan perkataan ataupun tulisan atau dengan perbuatan dan Al - ijma' as - sukutiy,  yaitu jika sebagian mujtahid itu berdiam diri tidak berterus terang mengeluarkan pendapatnya dan diam bukan kerena takut, segan, atau malu, tapi mereka berdiam diri tidak memberikan pendapat sama sekali terhadap mujtahid lain, baik ia menyetujui atau menolaknya. Sementara ditinjau dari segi kekuatannya, ada dua macam ijma’ yaitu Ijma'qat'i dalalahnya atas hukum, yaitu ijma’ sarih dan Ijma’ zanny dalalahnya atas hukum, yaitu ijma’ sukuti.
3.      Kedudukan dan kehujjahan ijma’
Para ulama menetapkan bahwa ijma’ menjadi hujjah, menetapkan juga ijma’ terletak di bawah deretan al-Qur’an dan as-Sunnah. Ijma’ tidak boleh menyalahi nas yang qat’i. Jumhur ulama menetapkan ijma’ yang dapat dijadikan hujjah syari’ah, hanyalah ijma’ sarih. Sedangkan ulama Hanafiyah menetapkan bahwa keduanya menjadi hujjah. Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nilai kehujjahan ijma’ adalah zanny.

H.    Al – Qiyas
Menurut bahasa berarti “menyamakan sesuatu”. Sementara menurut pengertian ahli usul fiqh, ialah menyamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nas mengenai hukumnya, dengan sesuatu peristiwa yang telah ada nas hukumnya, karena adanya persamaan illahi.
1.      Rukun Qiyas dan Syarat-syaratnya
a.       Al-asl, yaitu masalah yang telah ada hukumnya berdasarkan nas, masalah ini disebut juga maqis’alaih atau mahmul’alaih. Al-asl disyaratkan telah ada hukumnya baik berdasarkan nas atau ijma’ dan hukum asl masih tetap berlaku tidak dimansuh.
b.      Al-far’u, yaitu masalah baru yang belum ada hukumnya, masalah ini disebut juga maqis, mahmul, atau musyabbah. Al-far’u disyaratkan bahwa belum ada hukumnya baik berdasarkan nas atau ijma’, mempunyai persamaan illah dengan al-asl, dan datangnya lebih kemudian dari al-asl.
c.       Hukum Asl yang telah ada pada asl yang berdasarkan nas atau ijma’. Hukum asl disyaratkan menjadi 3, yaitu hukum syara’ ‘amali yang ditetapkan dengan nas, hukum asl harus dipahami oleh akal untuk dicari illahnya, dan hukum itu tidak hanya terbatas pada asl saja.
d.      ‘Illah Hukum, yaitu suatu sifat yang ada pada asl yang di atasnyalah dibina hukum dan karenanyalah dapat ditetapkan wujudnya hukum pada far’u. ‘Illah hukum disyaratkan merupakan sifat yang nyata adanya dapat dicapai oleh indera manusia, sifat yang tegas dan tidak elastis, sifat yang munasabah, dan sifat yang tidak hanya terbatas pada asl saja, tapi juga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan asl.
2.      Pembagian ‘Illah   
Pembagian ‘illah dari segi asalnya, dibagi menjadi empat, yaitu Al-munasib al-mu’asir, yaitu munasib yang ditunjukkan oleh syara’ dengan sempurna, Al-munasib al-mula’im, yaitu munasib yang ditunjuki oleh syara’ dengan salah satu jalan i’tibar saja, Al-munasib al-mulga, yaitu munasib yang sama sekali tidak ditunjuki oleh syara’, dan Al-munasib al-mursal atau al-munasib al-mutlaq, yaitu munasib yang nampaknya di hadapan mujtahid, bahwa menetapkan hukum atasnya mendatngkan kemaslahatan.
3.      Jalan untuk mengetahui ‘Illah
Ialah jalan yang kita tempuh untuk dapat menetapkan bahwasanya sifat yang ada pada sesuatu itu adalah illah bagi hukum. Jalan-jalan yang termashur, ialah melalui Nas, dalalah nas ini adakalanya tegas, adakalanya dengan isyarat dan kadang-kadang dengan tanbih, melalui Penetapan Ijma’ dan melalui as-Sabr wa at-Taqsim. As-Sabr artinya menguji dan at-Taqsim artinya membagi.
4.      Lapangan yang dapat ditetapkan hukumnya dengan berdasarkan Qiyas
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum syara’ yang telah ada nasnya, disyari’atkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Jika suatu hukum tidak secara jelas dapat diketahui kemaslahatannya secara rinci, maka hukum itu akan termasuk ta’abudiy.
5.      Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama menerima Qiyas menjadi hujjah dalam keadaan apabila hukum asl di nas-kan illahnya dan apabila qiyas itu merupakan salah satu daripada qiyas yang dilakukan rasul. Para ulama sepakat menetapkan dua macam qiyas ini menjadi hujjah syar’iyyah.

I.       Al-Istihsan
1.      Pengertian Istihsan
Menurut bahasa ialah “menganggap sesuatu itu baik”, sedangkan menurut istilah ulama tidak memberikan pengertian yang sama.
a.       Menurut Ulama Hanafiyah
Beralih pandangan dari dalil qiyas kepada qiyas yang lain yang lebih kuat atau mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat (al-Bazdawi)
b.      Menurut Ulama Malikiyah
Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara istisna’ (pengecualian) dan tarkhis (berdasarkan pada keringanan agama), karena adanya hal yang bertentangan dengan sebahagiaan pengertian tadi. (Ibnul Arabi)
c.       Menurut Ulama Hanabilah
Beralih pada penetapan hokum suatu masalah dan meninggalkan yang lainya, karena adanya dalil syara’ yang lebih khusus. (Ath-Thufiy)
Dari definisi-definisi tersebut dapat di ambil kesimpuan bahwa:
a)      Berpindah dari suatu hukum ke hukum yang lain, pada sebahagian perisiwa yang sesuai atau meninggalkan suatu hukum dan mengambil hukum yang lain atau mengecualikan  suatu hukum  dari hukum yang berlaku umum dengan yang khusus.
b)      Berpindah dalam penetapan hukum suatu peristiwa dari hukum ke hukum lain haruslah berdasarkan dalil syar’i, baik merupakan pengertian yang diperoleh dari nas maupun maslahah, atau bahkan merupakan ‘urf.
c)      Berpindah dalam menetapkan hukum, adakalanya dari hukum yang ditunjuki oleh umum nas ke hukum khusus, adakalanya berpindah dari hukum yang ditunjuki oleh qiyas khafi, dan adakalanya berpindah dari hukum yang dikehendaki oleh penerapan satu kaidah syar’iyah ke kaidah syar’iyah yang lain.
2.      Macam-macam Istihsan
a.       Menurut Sandaranya
1.      Ulama Hanfiyah membagi kepada empat macam:
a)      Ishtihsan yang sandaranya Qiyas Khafi
b)      Ishtihsan yang sandaranya Nas
c)      Ishtihsan yang sandaranya ‘Urf
d)     Ishtihsan yang sandaranya Darurat
2.      Ulama Hanafiyah membagi kepada tiga macam
a)      Ishtihsan yang sandaranya ‘Urf
b)      Ishtihsan yang sandaranya Maslahat
c)      Ishtihsan yang sandaranya Raf’ul Haraj.
b.      Menurut perpindahan hukumnya
1.      Istihsan dari Qiyas Jaly ke Qiyas Khafy
2.      Istihsan dari Nas umum ke hokum yang khusus
3.      Istihsan dari hokum kully ke hokum istisna.
Muhammad Abu Zahrah membagi Istihsan kepada tiga:
a.       Istihsan Sunnah
b.      Istihsan Ijma
c.       Istihsan Darurat
3.      Kehujjahan Istihsan
Jumhur Malikiyah dan Hanabilah menetapkan bahwa Istihsan adalah suatau daliil syar’iyang dapat di jadikan hujjah untuk menetapkan hokum terhadap sesuatu yang ditetapkan oleh Qiyas atau keumuman nash.
Menurut Asy-Syafi’i. ishtisan bukan dalil syar’i, dan beranggapan bahwa orangng menggunakan ishtihsan sama dengan menetapkan syariat berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri semata yang mungkin benar yang mungkin salah.


J.      Al-Istislah atau Maslahah Mursalah
1.      Pengertian Istislah
Istihlah menurut bahasa berarti “mencari kemaslahatan” sedangkan menurut ahli ushul fiqih adalah “menetapkan hokum suatu masalah yang taka da nashnya atautidak ada ijma terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’ tidak di jelaskan ataupun dilarang).

2.    Lapangan Istislah dan Kehujjahanya
Ulama usuk fiqih menetapkan istislah tidak berlaku dalam bidang ibadah, karena hokum-hukum ibadah adalah ta’abudy. Adapun dalam bidang selain ibadah dan selain ketentuan yang qat’I ditetapkan dalam bidang mu’amalat, demikian pula dalam bidang ta’zir para ulama berbeda pendapat menggunakan istilah ini. Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa Istislah adalah suatu jalan menetapkan hokum yang taka da nash dan ijma’ nya sedangkan At-Tufy menetapkan bahwa istislah adalah dalil syar’I dalam bidang mu’amalat.
3.    Alasan para ulama yang menerima Istislah sebagai dalil syara’
Jumhur ulama menganggap Maslahah Mursalah sebagai hujjah syar’iyah, sekalipun dengan nama yang berbeda-beda. Adapun alasan para ulama yang menerima Istislah atau Maslahah Mursalah sebagai dalil syar’i, di antaranya ialah:
a)      Kemaslahatan yang diharapkan manusia itu tumbuh dan bertambah. Sekiranya hukum tidak menampung untuk menetapkan kemaslahatan manusia yang dapat diterima, berarti kurang sempurna syari’at itu, atau bekulah syariat islam itu. Padahal nyatanya tidaklah demikian.
b)      Kalau diamati benar-benar, para sahabat dan tabi’in beserta imam-imam mujtahid, mereka telah menetapkan hukum-hukum dengan berdasarkan para kemaslahatan. Abu Bakar Assidiq memerintahkan untuk menyusun mushaf yang tadinya belum terkumpul. Demikian pula tindakannya menerangi orang yang ingkar dan enggan membayar zakat.
4.    Alasan ulama yang menolak Istislah sebagai dalil syara’
Ulama yang menolak Istislah sebagai dalil syar’i antara lain imam Syafi’i. Beliau menolak Istislah, karena disamakan dengan Istihsan. Alasan untuk menolak Istislah sama dengan alasan untuk menolak Istihsan. Diantaranya ialah:
a)      Syari’at islam mempunyai tujuan menjaga tujuan kemaslahataan manusia. Sedangkan syara’ tidak membiarkan manusia dalam keadaan terlantar tanpa petunjuk. Petunjuk itu harus berdasarkan pada ibarat nas. Kalau kemaslahatan yang tidak berpedoman pada i’tibar nas. Bukan kemaslahatan yang hakiki
b)      Kalau menetapkan hukum berdasarkan pada kemaslahatan semata yakni yang terlepas dari syara’, sudah barang tentu akan dipengaruhi oleh hawa nafsu. Sedang hawa nafsu tidak akan dapat melihat kemaslahatan yang hakiki. Hal ini merupakan kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dipercaya.
5.    Syarat-syarat berhujjah dengan Istislah
a)      Kemaslahatan itu haruslah merupakan suatu kemaslahatn yang hakiki,dan bukan suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja, maksudnya masalah yang bisa mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan.
b)      Kemaslahatan yang di capai dengan istislah harus kemaslahatan umum, dan bukan kemaslahatan golongan atau perseorangan.
c)      Kemaslahatan yang dicapai dengan istislah itu tidak bertentangan denga nas syara’ atau ijma’.

K.    ‘Urf
1.      Pengrtian ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, di kenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Pengertian ‘Urf menurut Ahli Fiqih
Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dengan mereka menjadikanya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun sikap meninggalkan sesuatu. Disebut juga adata atau kebiasaan.
2.      Pembagian ‘Urf
a.       ’Urf  berdasarkan bentuknya ada 2 macam,yaitu;
1)      Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm (daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan.
2)      Al Urf al Fi’liy, ialah kebiasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatan jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli (ijab-qabul). Jual beli demikian disebut “al-Bai’ bi at-Ta’atiy”
b.      Ditinjau dari segi nilainya ada 2 macam:
1)      Al Urf As Shahih, yaitu ‘Urf yang baik dan dapat diterima, karena tidak bertentangan dengan nash syara’.
2)      Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan nash syara.
c.       Ditinjau dari segi luas berlakunya, dimabi menjadi 2 macam:
1)      Al Urf ‘Am, yaitu ‘Urf yang berlaku untuk seluruh tempat sejak dahulu hingga sekarang.
2)      Al urf al Khas, yaitu ‘Urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja.
3.      Kehujjahan ‘Urf
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk Madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’. Sedangkan Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadid-nya, karena melihat praktek yang brelaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan. Sedangkan 'urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syarat nash maupun ketentuan umum nash.

L.     Al-Istishab
1.      Pengertian Istishab
Menurut bahasa Istishab berarti ”mencari sesuatu yang selalu menyertai”. Sedangkan menurut istilah Ahli Usul Fiqh adalah membiarkan berlangsungnya suatu hokum yang sudah di tetaapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuanya sampai sekarang kecuali jika ada dalil lain yang merubahnya.
2.      Pembagian Istishab
a.       Istishab Bara’ah Asliyah
b.      Istishab yang dijuluki oleh syara’ atau akal
c.       Istishab hukmi
d.      Istishab sifati
3.      Kehujjahan Istishab
Menurut Malikiyah, Hanabilah dan Zahiriyah, Istishab menjadi hujjah baik dalam menetapkan maupun meniadakan hokum. Sebagian ulama berpendapat bahwa Istishab menjadu hujjah untuk ”Naafyu” (meniadakan hokum) bukan untuk “isbat” (menetapkan adanya hokum). Sedangkan yang lain berpendapat bahwa Istishab boleh dijadikan hujjah dalam perdebatan dan dapat pula dijadikan sebagai dalil bagi diri sendiri.

M.   Syar’u Man Qablana
1.      Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana secara etimologis berarti Hukum yang disyari’atkan oleh Allah swt bagi orang-orang (umat-umat) sebelum kita. Sedangkan menurut Ahli Usul adalah Syari’at yang diturunkan oleh Allah swt melalui nabi-nabi atau rasul-rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw.
2.      Pembagian Syar’u Man Qablana
a.       Hukum (Syara’) yang tetap berlaku sampai sekarang berdasarkan pada nas-nas al-Quran, seperti pada surat al-Baqoroh (2) ayat 183.
b.      Hukum (Syara’) yang hanya berlaku bagi umat terdahulu saja, karena sudaj dinashkan oleh al-Quran, seperti pada surat al-Anam (6) ayat 146.
c.       Hukum (Syara’) yang disebutkan oleh nash al-Quran maupuan al-Sunnah, tetaapi tidak tegas disebutkan tetap berlakunya dan tidak pula di nashkan, seperti firman Allah swt. dalam surat al-Maidah (5) ayat 45.
3.      Kedudukan Syar’u Man Qablana
a.       Sebagian ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi;yyah berpendapat bahwa syari’at umat sebelum kita merupakan syari’at untuk kita dan wajib mengikuti serta menerapkanya selama hokum yang telah diceritakan kepada kita dan dalam syari’at kita tidak terdapat hokum yang menaskhannya.
b.      Sebagian ulama berpendapat bahwa Syaria’at kita, adalah syari’at yang menaskhkan (menghapus) syari’at-syari’at terdahulu, kecuali apanila di dalam syari’at kita terdapat sesuatu dalil yang menetapkanya.
N.    Sadd az-Zari’ah
1.      Pengertian Sadd az-Zari’ah
Zari’ah menurut bahasa identic dengan Wasilah (perantara) dan dengan demikian Sadd az-Zari’ah dapat di terjemahkan dengan “Menghambat atau menyumbat sesuatu yang menjadi perantara”. Sedangkan menurut Ahli Usul Sadd az-Zari’ah adalah mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat jalan sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan.
2.      Dasar Penetapan Sadd az-Zari’ah
Penetapan tersebut dijumpai dalam al-Qur’an atau as-Sunnah. Misalnya dalam surat al-An’am (6), ayat 108 yang di maksud Allah melarang kaum muslimin memaki sesembahan kaum musyrik karena mereka nanti akan memaki-maki Allah dengan melampaui batas. Demikian pula pada surat An-Nur (24) ayat 31 yang maksudnya Allah melarang wanita-wanita menghentakkan kakinya diwaktu berjalan karena akan menjadi sarana menampakkan perhiasan emas mereka dan menimbulkan gejolak hati laki-laki yang bukan haknya.
3.      Kualifikasi Ziarah yang dilarang
Pada umumnya ulama menerima ketentuan Sadd az-Zari’ah, hanya saja tidak sependapat terhadap rincian Zarah yang di larang itu, seperti sebagian ulama membolehkan “Bai’Ainah” sedangkan yang lain melarangnya karena menimbulkan riba.
Dalam mengukur dan mengkualifikasi Zia’rah mana yang akan menimbulkan kerusakan dan dilarang memang agak sulit tetapi harus memiliki prinsip bahwa siakap menghindari suatu hal yang menimbulkan perasaan harus di dahulukan daripada menentukan sesuatu yang dikira akan mendatangkan kemaslahatan.

Komentar

Postingan Populer